KILAUAN PALSU DI BALIK PENCAPAIAN

 

Toxic Achievement:  Mengurai Obsesi Guru dan Orang Tua di Dunia Pendidikan

(Nirwana, S.Pd., M.Pd - Ketua Bidang Pendidikan dan Penelitian PWNA SulSel)

“Di balik semangat mengejar prestasi, banyak anak muda yang sebenarnya sedang berjuang dengan tekanan mental yang berat." ( Jennifer Wallace)

Di dunia pendidikan modern, obsesi terhadap pencapaian akademis sering kali dianggap sebagai ukuran utama keberhasilan. Orang tua dan guru, dengan niat terbaik mereka, sering kali menanamkan nilai prestasi tinggi pada anak-anak atau siswa, tetapi tanpa disadari, hal ini bisa menciptakan apa yang kita kenal dengan istilah toxic achievement atau pencapaian beracun. Ini adalah situasi di mana prestasi akademis dijadikan satu-satunya tolok ukur kesuksesan, yang pada akhirnya berisiko merusak kesehatan mental dan emosional anak. Fenomena ini sudah cukup lama menjadi sorotan, dan kini semakin relevan di tengah tekanan sosial yang semakin meningkat, terutama di era digital ini.

Obsesi terhadap prestasi akademik sering kali datang dari dua sumber utama: orang tua dan guru. Orang tua yang ingin anak-anak mereka sukses di masa depan mungkin merasa bahwa pendidikan formal adalah jalan utama menuju kesuksesan, dan hal ini sering kali berujung pada pemberian tekanan yang berlebihan. Mereka mungkin tidak menyadari bahwa, dalam usaha mereka untuk membuat anak-anak mereka menjadi "berprestasi," mereka justru membuat mereka terjebak dalam kecemasan dan rasa takut gagal. Fakta dari penelitian terbaru menunjukkan betapa mendalamnya masalah ini. Journalist Jennifer Wallace, dalam usahanya memahami alasan mengapa banyak studi menunjukkan tingkat kecemasan dan depresi yang meningkat di kalangan siswa di sekolah-sekolah "berprestasi tinggi", melakukan survei bersama para peneliti dari Harvard Graduate School of Education pada Februari 2020

Survei ini, yang awalnya ditujukan untuk mengumpulkan 1.000 respons, justru mendapatkan 6.500 tanggapan dalam waktu singkat, sebuah angka yang mencerminkan betapa besar ketertarikan orang tua untuk berdiskusi tentang masalah ini.Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa 73% responden merasa bahwa orang tua di komunitas mereka percaya bahwa masuk ke perguruan tinggi selektif adalah salah satu kunci kesuksesan hidup. Lebih jauh lagi, 83% merasa bahwa kesuksesan akademik anak mereka mencerminkan kemampuan pengasuhan mereka. Namun, meskipun orang tua terus berusaha mencapai kesuksesan akademik anak-anak mereka, 87% dari mereka berharap bahwa masa kanak-kanak anak-anak mereka bisa lebih bebas dari stres. Wallace, yang menulis tentang isu ini dalam bukunya Never Enough: When Achievement Culture Becomes Toxic And What We Can Do About It, menyatakan bahwa hasil ini menunjukkan ketegangan yang ada antara harapan yang tinggi dan kenyataan yang penuh tekanan

Di sisi lain, peran guru dalam memperburuk budaya toxic achievement juga tak bisa diabaikan. Dalam sistem pendidikan yang semakin kompetitif, guru sering kali merasa tertekan untuk menghasilkan siswa-siswa yang berprestasi tinggi, terutama di sekolah-sekolah yang sangat bergantung pada indikator hasil ujian dan prestasi akademis. Tanpa disadari, guru bisa terjebak dalam paradigma yang mengutamakan angka dan nilai, bukan pengembangan pribadi siswa. Hal ini dapat menyebabkan siswa merasa bahwa mereka hanya dihargai berdasarkan seberapa baik mereka dapat menguasai materi pelajaran, tanpa memberi ruang untuk kreativitas, rasa ingin tahu, atau bahkan kegagalan yang merupakan bagian dari proses belajar.

Di Indonesia, fenomena serupa tidak jauh berbeda. Masyarakat sering kali menganggap bahwa kesuksesan akademik adalah satu-satunya ukuran keberhasilan dalam kehidupan. Banyak orang tua dan guru yang merasa tertekan untuk memastikan bahwa anak-anak mereka meraih nilai tinggi dan berprestasi, bahkan sampai mengabaikan kesejahteraan mental mereka. Anak-anak yang tumbuh di dalam budaya seperti ini sering kali merasa bahwa mereka tidak bisa gagal, yang menyebabkan kecemasan dan kelelahan emosional.

Dampak dari budaya toxic achievement ini sangat serius. Menurut sebuah penelitian dari Universitas Harvard, siswa yang terjebak dalam tekanan akademis yang berlebihan lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan bahkan gangguan makan. Mereka juga lebih cenderung merasa tidak cukup baik, meskipun sudah mencapai banyak hal. Dalam konteks ini, toxic achievement bukan hanya tentang nilai yang buruk, tetapi tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh pengejaran prestasi yang tiada henti.

Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu melakukan perubahan dalam cara kita melihat pendidikan dan pengasuhan. Salah satu langkah pertama adalah dengan mengurangi tekanan terhadap pencapaian akademik semata dan mulai memberi penghargaan kepada proses belajar itu sendiri. Orang tua dan guru perlu berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan emosional dan sosial anak-anak, selain hanya mengutamakan nilai-nilai akademik. Mengurangi budaya toxic achievement bukan hanya tentang mengurangi harapan terhadap anak-anak, tetapi juga tentang memberikan mereka kesempatan untuk belajar dari kegagalan, untuk merasakan kebahagiaan dalam proses belajar, dan untuk menghargai keberhasilan mereka sendiri tanpa dibebani oleh ekspektasi yang tidak realistis.

Sebagai orang tua dan pendidik, kita perlu memahami bahwa kesuksesan sejati tidak terletak pada angka atau prestasi yang terlihat, tetapi pada kemampuan anak-anak untuk berkembang menjadi individu yang sehat, bahagia, dan percaya diri. Dengan memupuk budaya pendidikan yang lebih inklusif dan mendukung, kita tidak hanya membantu anak-anak kita meraih prestasi akademis yang lebih baik, tetapi juga membentuk karakter mereka untuk siap menghadapi tantangan kehidupan dengan percaya diri.

                                                                                Makassar, 30 April 2025

Penulis : Nirwana S.Pd , M.Pd (Ketua Bidang Pendidikan dan Penelitian PWNA SulSel)

Posting Komentar

0 Komentar