SEBUAH REFLEKSI DIHARI KARTINI

 

Perempuan Bangkit, Bangsa Kuat

Setiap tanggal 21 April, kita mengenang sosok Kartini bukan hanya sebagai simbol emansipasi, tetapi sebagai pemantik kesadaran bahwa perempuan adalah poros peradaban. Dalam bukunya Perempuan, Islam, dan Negara, Lies Marcoes menegaskan bahwa "perempuan bukan sekadar objek pembangunan, tetapi subjek aktif perubahan sosial." Maka, dalam konteks hari ini, refleksi atas perjuangan Kartini menjadi penting sebagai pengingat bahwa kebangkitan bangsa harus dimulai dari kebangkitan perempuan. Baik di rumah, di masyarakat, dan di ruang-ruang pengambilan kebijakan.

Namun realitas masih menunjukkan bahwa perempuan Indonesia menghadapi banyak tantangan. Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, ketimpangan partisipasi ekonomi, serta rendahnya keterwakilan dalam politik menjadi wajah nyata dari ketidaksetaraan struktural yang belum terurai. Data BPS tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya sekitar 54% perempuan usia produktif yang terlibat dalam angkatan kerja, dan mayoritasnya berada di sektor informal dengan perlindungan minim. Ini belum termasuk beban kerja domestik yang tidak pernah tercatat dalam statistik resmi, tetapi terus membatasi ruang gerak perempuan. 

Sebagai seorang perempuan, saya percaya bahwa perubahan bisa dimulai dari hal yang paling dekat, yakni diri sendiri dan komunitas. Ketika perempuan didukung untuk belajar, bekerja, dan bersuara, maka akan lahir generasi yang lebih kuat. Pendidikan menjadi kunci utama. Seperti yang ditekankan Ki Hajar Dewantara, “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.” Memberdayakan perempuan melalui pendidikan dan literasi digital adalah langkah strategis untuk membangun ketahanan keluarga sekaligus membuka peluang ekonomi baru. Pelatihan keterampilan berbasis potensi lokal, dan ruang-ruang belajar komunitas bisa menjadi solusi konkrit di tengah tantangan ekonomi hari ini.

Kita juga perlu membangun solidaritas antarperempuan. Sebuah jaringan yang tidak hanya memberi dukungan emosional, tetapi juga membuka akses informasi, perlindungan hukum, dan penguatan kapasitas. Dalam konteks ini, peran komunitas, organisasi sosial, dan lembaga keagamaan sangat vital. Perempuan tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Kartini, gagasan akan kehilangan makna tanpa kolaborasi yang saling menguatkan. Maka, membentuk ekosistem pemberdayaan yang terstruktur dan berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya perempuan untuk perempuan, tetapi seluruh elemen bangsa.

Refleksi Hari Kartini bukan semata nostalgia atas tokoh masa lalu, tetapi harus menjadi kompas untuk melihat masa depan. Di tengah krisis sosial, ekonomi, hingga ekologi, perempuan punya peran sentral dalam membentuk arah baru peradaban. Sebab ketika seorang perempuan bangkit, ia membawa bersamanya keluarganya, komunitasnya, bahkan bangsanya. Maka, mari terus berjalan di jalan terang yang telah ditempuh oleh Kartini, Nyai Walidah dan perempuan-perempuan Indonesia lainnya sejak dahulu. Jalan ilmu, kesadaran, dan keberanian untuk memimpin perubahan.

Nur Iffah Salmi Akbar, S.Pd, M.Pd

Ketua PD Nasyiatul Aisyoyah kota Makassar

Posting Komentar

0 Komentar